Selasa, 27 Juli 2010

PENDIDIKAN GRATIS

PENDIDIKAN GRATIS

Impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang kian hari kian melambung, sumbangan ini itu, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.

Pro Kontra Pendidikan Gratis

Dilihat dari perkembanganya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang pro dengan program-program itu mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum bayar iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM yang concern pada bidang pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu. Adanya kurang rasa harus sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak lebih mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara.

Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.

Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.

Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.

Kualitas Pendidikan vs Pendidikan Gratis

Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.

Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.

Melihat kondisi diatas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.

Dan bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?

Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya. ***

Komite Sekolah
Yuslinarwati, Korupsi, dan Intimidasi
Senin, 26 Juli 2010 | 20:04 WIB




JAKARTA, KOMPAS.com - Boleh jadi, Yuslinawarti kaget. Karena tanpa alasan yang jelas, ia tiba-tiba saja dipecat sebagai Sekretaris Komite Sekolah SMP Negeri 99, Jakarta Timur, tempat anaknya menuntut ilmu. Padahal sebagai pengurus, Lina, --begitu dia biasa dipanggil, tercatat sampai 2011.

Pemecatan saya adalah agar tidak ungkap kasus dan tidak meminta tanggung jawab sekolah.
-- Yuslinarwati

Selidik punya selidik, pemecatan sepihak ini lantaran ia mempertanyakan transparansi penggunaan keuangan orangtua murid. Pertanyaan Lina terbilang wajar. Di pundaknya, tersimpan amanah orangtua murid lainnya yang mempercayakan keuangan kepada komite sekolah.
Alih-alih mendapat kejelasan, pihak sekolah bungkam, tak mau peduli memberi jawaban. Malahan, dirinya dihadiahi surat pemecatan yang ditandatangani Ketua Komite SMPN 99 Andi Tachyar, lewat seorang kurir sekolah.
"Pemecatan saya adalah agar tidak ungkap kasus dan tidak meminta tanggung jawab sekolah," beber Lina kepada wartawan di kantor ICW, Minggu (25/7/2010) kemarin. Pemecatan di luar mainstream," kata Lina.
Menurutnya karena pemecatan harus diberitahukan di hadapan 120 orantua murid lainnya, perwakilan dari 23 kelas, dari kelas 7 sampai 9.
Bagi perempuan kelahiran Aceh ini, pertanyaan yang diajukan kepada komite sekolah cukup sederhana. Tapi bagi komite dan pihak sekolah pertanyaan itu bagai api dalam sekam.
Merasa diusik terus, mereka sepakat membuat tudingan miring terhadap Lina. Salah satunya menuduh Lina telah berbuat makar, berupa pencemaran nama baik. Tudingan yang tertuang dalam surat pemecatan dirinya dari kepengurusan komite.
Study tour
Kisah Lina berawal ketika dirinya bersama orangtua murid melakukan study tour ke Yogyakarta. Dicarilah travel yang dapat mengantar mereka dan mendapat kesepakatan panitia. Sementara travel langganan kepala sekolah tak terpilih. Alhasil, travel pilihan panitia yang digalang 18 orangtua, semuanya perempuan tak disukai kepala sekolah.
Menurut Lina, tersiar kabar bahwa travel langganan kerap memberi imbalan kepada kepala sekolah dan kroninya. Buntutnya, kepala sekolah dan komite sekolah yang biasa menemani orangtua dan muridnya liburan luar kota, urung ikut. Berbagai alasan dicari, salah satunya karena harus menghadiri Hari Pendidikan Nasional. Bahkan, sebelum mendapat surat jalan, kepanitiaan Lina sempat terganjal.
Lantaran tak diperbolehkan melakukan study tour, pertanyaan pun timbul, kenapa sekolah lain bisa. Lina pun menghadap ke Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan mendapat restu. Menyusul namanya tercatat sebagai perwakilan orangtua murid dari komite sekolah SMPN 99.
Singkat cerita, Lina dan panitia bisa ke luar kota. Dengan dana Rp 900 ribu per murid, fasilitas hotel bintang empat bisa mereka rasakan. Jauh beda dalam kepanitiaan terdahulu, yang hanya di kelas losmen.
Sepulangnya dari liburan, gesekan mulai terjadi. Tanpa angin, tiba-tiba pihak sekolah langsung menghakimi Lina, karena suratnya pihak sekolah dipanggil Gubernur Fauzi Bowo.
"Sampai saat ini saya tidak pernah kirimkan surat satupun," ungkapnya.
Ia menjelaskan, kondisi murid sehat-sehat saja usai study tour dari Yogya. Pengurusan ijin yang semula tak diperbolehkan pihak sekolah, bahkan harus Lina urus sendiri. Ia bahkan bolak-balik ke Dinas Pendidikan DKI sebanyak empat kali.
"Mereka bilang silahkan saya berangkat," ujar staf Dinas seperti ditirukan Lina.
Terus melawan
Masalah memang beres, tapi tidak bagi Lina. Karena, jawaban mengenai transparansi tak juga kunjung ditanggapi. Lina dan orantua murid yang kritis pun melakukan aksi demo.
Sehari sebelumnya, seorang guru mengumumkan sebelum kelulusan murid harus membayar uang sampul Rp 16 ribu. Merasa ada keanehan, ia tanyakan langsung kepada kepala sekolah, dan guru itupun diam, takut tak bisa menjelaskan.
Keesokan harinya, demo pun tetap berjalan. Lina dan kawan-kawan pada intinya sepakat, mengajukan agar kepala sekolah dipecat saja dari jabatannya. Ujungnya, di saat pengambilan ijazah, orantua pendemo dipersulit mendapat legalisir.
"Saya adalah orang yang tidak dilegalisir oleh kepala sekolah. Akhirnya saya datang dengan tiga panitia," kenangnya.
Saat gesekan dirinya dengan pihak sekolah dimulai, intimidasi menjalar kepada anaknya. Wali kelasnya, kroni kepala sekolah, selalu memarahi anaknya lewat omongan, tidak secara fisik. Anak perempuan Lina harus menanggung persoalannya dengan pihak sekolah.
Lina pun mendatangi wali kelas, tapi tak mengakui ditanyai soal yang terjadi dengan anaknya. Ternyata, bukan orangtua murid seperti Lina yang tidak suka dengan ketidakberesan dalam kepempimpinan di sekolah itu. Menurut Lina, banyak guru memiliki suara yang sama. Ingin sekali mereka menuntut agar kepala sekolah itu diganti. Lantaran sudah habis masa jabatannya, dan pertimbangan kurang transparan menyikapi masalah keuangan.
Lina tak akan berhenti berjuang mencari keadilan, mempertanyakan transparansi keuangan orangtua murid yang sudah dipercayakan kepada komite dan pihak sekolah. Karenanya ia akan mengajukan laporan ini ke Komnas HAM, dengan alasan setelah mempertanyakan soal transparansi keuangan sekolah, orantua murid dan muridnya mendapat intimidasi sekolah