Selasa, 27 Juli 2010


Komite Sekolah
Yuslinarwati, Korupsi, dan Intimidasi
Senin, 26 Juli 2010 | 20:04 WIB




JAKARTA, KOMPAS.com - Boleh jadi, Yuslinawarti kaget. Karena tanpa alasan yang jelas, ia tiba-tiba saja dipecat sebagai Sekretaris Komite Sekolah SMP Negeri 99, Jakarta Timur, tempat anaknya menuntut ilmu. Padahal sebagai pengurus, Lina, --begitu dia biasa dipanggil, tercatat sampai 2011.

Pemecatan saya adalah agar tidak ungkap kasus dan tidak meminta tanggung jawab sekolah.
-- Yuslinarwati

Selidik punya selidik, pemecatan sepihak ini lantaran ia mempertanyakan transparansi penggunaan keuangan orangtua murid. Pertanyaan Lina terbilang wajar. Di pundaknya, tersimpan amanah orangtua murid lainnya yang mempercayakan keuangan kepada komite sekolah.
Alih-alih mendapat kejelasan, pihak sekolah bungkam, tak mau peduli memberi jawaban. Malahan, dirinya dihadiahi surat pemecatan yang ditandatangani Ketua Komite SMPN 99 Andi Tachyar, lewat seorang kurir sekolah.
"Pemecatan saya adalah agar tidak ungkap kasus dan tidak meminta tanggung jawab sekolah," beber Lina kepada wartawan di kantor ICW, Minggu (25/7/2010) kemarin. Pemecatan di luar mainstream," kata Lina.
Menurutnya karena pemecatan harus diberitahukan di hadapan 120 orantua murid lainnya, perwakilan dari 23 kelas, dari kelas 7 sampai 9.
Bagi perempuan kelahiran Aceh ini, pertanyaan yang diajukan kepada komite sekolah cukup sederhana. Tapi bagi komite dan pihak sekolah pertanyaan itu bagai api dalam sekam.
Merasa diusik terus, mereka sepakat membuat tudingan miring terhadap Lina. Salah satunya menuduh Lina telah berbuat makar, berupa pencemaran nama baik. Tudingan yang tertuang dalam surat pemecatan dirinya dari kepengurusan komite.
Study tour
Kisah Lina berawal ketika dirinya bersama orangtua murid melakukan study tour ke Yogyakarta. Dicarilah travel yang dapat mengantar mereka dan mendapat kesepakatan panitia. Sementara travel langganan kepala sekolah tak terpilih. Alhasil, travel pilihan panitia yang digalang 18 orangtua, semuanya perempuan tak disukai kepala sekolah.
Menurut Lina, tersiar kabar bahwa travel langganan kerap memberi imbalan kepada kepala sekolah dan kroninya. Buntutnya, kepala sekolah dan komite sekolah yang biasa menemani orangtua dan muridnya liburan luar kota, urung ikut. Berbagai alasan dicari, salah satunya karena harus menghadiri Hari Pendidikan Nasional. Bahkan, sebelum mendapat surat jalan, kepanitiaan Lina sempat terganjal.
Lantaran tak diperbolehkan melakukan study tour, pertanyaan pun timbul, kenapa sekolah lain bisa. Lina pun menghadap ke Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan mendapat restu. Menyusul namanya tercatat sebagai perwakilan orangtua murid dari komite sekolah SMPN 99.
Singkat cerita, Lina dan panitia bisa ke luar kota. Dengan dana Rp 900 ribu per murid, fasilitas hotel bintang empat bisa mereka rasakan. Jauh beda dalam kepanitiaan terdahulu, yang hanya di kelas losmen.
Sepulangnya dari liburan, gesekan mulai terjadi. Tanpa angin, tiba-tiba pihak sekolah langsung menghakimi Lina, karena suratnya pihak sekolah dipanggil Gubernur Fauzi Bowo.
"Sampai saat ini saya tidak pernah kirimkan surat satupun," ungkapnya.
Ia menjelaskan, kondisi murid sehat-sehat saja usai study tour dari Yogya. Pengurusan ijin yang semula tak diperbolehkan pihak sekolah, bahkan harus Lina urus sendiri. Ia bahkan bolak-balik ke Dinas Pendidikan DKI sebanyak empat kali.
"Mereka bilang silahkan saya berangkat," ujar staf Dinas seperti ditirukan Lina.
Terus melawan
Masalah memang beres, tapi tidak bagi Lina. Karena, jawaban mengenai transparansi tak juga kunjung ditanggapi. Lina dan orantua murid yang kritis pun melakukan aksi demo.
Sehari sebelumnya, seorang guru mengumumkan sebelum kelulusan murid harus membayar uang sampul Rp 16 ribu. Merasa ada keanehan, ia tanyakan langsung kepada kepala sekolah, dan guru itupun diam, takut tak bisa menjelaskan.
Keesokan harinya, demo pun tetap berjalan. Lina dan kawan-kawan pada intinya sepakat, mengajukan agar kepala sekolah dipecat saja dari jabatannya. Ujungnya, di saat pengambilan ijazah, orantua pendemo dipersulit mendapat legalisir.
"Saya adalah orang yang tidak dilegalisir oleh kepala sekolah. Akhirnya saya datang dengan tiga panitia," kenangnya.
Saat gesekan dirinya dengan pihak sekolah dimulai, intimidasi menjalar kepada anaknya. Wali kelasnya, kroni kepala sekolah, selalu memarahi anaknya lewat omongan, tidak secara fisik. Anak perempuan Lina harus menanggung persoalannya dengan pihak sekolah.
Lina pun mendatangi wali kelas, tapi tak mengakui ditanyai soal yang terjadi dengan anaknya. Ternyata, bukan orangtua murid seperti Lina yang tidak suka dengan ketidakberesan dalam kepempimpinan di sekolah itu. Menurut Lina, banyak guru memiliki suara yang sama. Ingin sekali mereka menuntut agar kepala sekolah itu diganti. Lantaran sudah habis masa jabatannya, dan pertimbangan kurang transparan menyikapi masalah keuangan.
Lina tak akan berhenti berjuang mencari keadilan, mempertanyakan transparansi keuangan orangtua murid yang sudah dipercayakan kepada komite dan pihak sekolah. Karenanya ia akan mengajukan laporan ini ke Komnas HAM, dengan alasan setelah mempertanyakan soal transparansi keuangan sekolah, orantua murid dan muridnya mendapat intimidasi sekolah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar